Jika dulu anak-anak ditanya mengenai cita-cita mereka, jawaban lumrah yang akan diutarakan mungkin hanya sebatas guru, dokter, tentara, polisi, atau orang sukses. Namun, bagaimana dengan sekarang? Coba sekarang lihat sekeliling kalian. Adakah anak-anak usia sekolah dasar? Jika ada, coba tanyakan, apa cita-cita mereka? Yup, banyak dari mereka yang kini memiliki cita-cita yang bahkan tak pernah terpikirkan akan nyata keberadaannya. Youtuber atau Tiktokers itu hanyalah beberapa dari cita-cita “berjenis baru” yang muncul seiring dengan teknologi yang semakin maju.
Memanfaatkan internet positif
Hal ini sebenernya salah satu pengaruh dari cepatnya perubahan waktu. Ada banyak penemuan-penemuan baru yang seiring dengan itu juga menciptakan lapangan kerja baru. Sehingga, anak-anak cenderung terinspirasi dan ingin meniru hal-hal yang menarik minat mereka. Apalagi, akses internet sudah sangat mudah dan cepat. Ini membuat informasi dapat mudah menyebar, tren-tren yang mungkin dulu hanya dikenal oleh Masyarakat di kota-kota besar, kini dengan mudahnya masuk ke pedalaman. Selain itu, hal-hal baru tersebut juga dating dengan media atau sajian yang sangat mudah menarik minat anak-anak. Maka dari itu, anak-anak kini mulai mengharapkan menjadi sesuatu yang “keren” dan tidak ketinggalan zaman.
Dikutip dari CNBC, Perusahaan mainan Lego melakukan survei sebanyak 3000 anak-anak berusia antara 8 sampai 12 tahun dari AS dan China. Hasilnya adalah sepertiga dari anak-anak yang ada dalam survei tersebut mengungkapkan bahwa mere kaingin menjadi Youtuber. Kemudian, dilansir dari Gramedia.com, Katherine Chen dari Associate Professor di City Collage of New York mengatakan bahwa anak-anak leboh terekspos kepada influencer Youtube pada zaman sekarang. Sebab, mereka melihat bahwa menjadi seorang Youtuber dianggap bisa memberikan jaminan masa depan yang menjanjikan. Begitu pula dengan Tiktok, dengan membuat video yang fyp saja, maka anak-anak menganggap bahwa hal itu dapat memberikan untung yang sangat besar. Maka tak jarang anak zaman sekarang dapat melakukan atau mencontoh hal apapun untuk dijadikan konten video.
Anak-anak dengan penalarannya yang terbatas dan dengan posisi di mana mereka hanya melihat situasi di depan layar berpikir bahwa menjadi Youtuber atau Tiktoker itu hal yang mudah. Mereka hanya perlu memiliki channel, membuat video yang menarik, dan mereka akan sukses. Padahal kita semua tahu bahwa segalanya tak berjalan semudah itu.
Baca juga: Yuk, Kenali Komponen Integritas untuk Anak Didik!
Akankah cita-cita klasik akan hilang dibenak remaja sekarang?
Sebenarnya, tak ada masalah dengan kemunculan cita-cita baru ini, hanya saja cara mereka meraihnya yang harus selalu kita pantau. Mana yang boleh dilakukan, mana yang tidak dan mana konten yang patut dicontoh serta mana yang tidak. Bahkan, jika memang benar anak tersebut tertarik pada dunia digital, berilah Pelajaran tambahan di luar sekolah seperti cara membuat konten atau edit video, sehingga dengan begitu anak akan terarah dan tidak sembarangan.
Namun mirisnya, seiring dengan maraknya tren cita-cita baru ini, cita-cita “klasik” zaman dulu kini mulai sepi peminat. Sebenarnya, hal ini yang perlu direnungi lebih dalam. Sebab jika hal ini terus berlanjut, bukan tak mungkin bahwa suatu saat pekerjaan-pekerjaan itu tidak memiliki peminatnya lagi. Bak usaha yang bangkrut, perlahan pekerjaan itu akan musnah seiring dengan tidak adanya regenerasi dari kaum muda. Padahal, jika ditelaah pekerjaan yang hilang tersebut adalah pekerjaan pokok yang menopang hidup manusia yang bekerja di bidang lainnya. Contohnya profesi petani. Kini, sulit untuk menemukan anak-anak negeri yang ingin menjadi petani. Padahal, jika suatu saat petani hilang, bagaimana dengan bahan makanan kita? Siapa yang akan menyediakannya? Apakah kemudian negara akan besar-besaran impor bahan bakunya?
Apa yang harus dilakukan?
Intinya, bukan tak baik untuk menjadi seorang youtuber atau Tiktoker, bukan tak baik memiliki cita-cita baru yang tren sesuai zaman, hanya saja kita perlu memikirkan bagaimana menyelaraskan serta meratakan regenasi penerus setiap profesi atau pekerjaan yang ada. Kita juga perlu memastikan bahwa jika pemerataan itu terjadi, Nasib mereka juga harus sama rata. Sehingga tidak ada yang dirugikan atas kejadian “meratakan cita-cita” mereka demi keberlangsungan bangsa. Sehingga, semuanya tetap seimbang, sama rata, sama rasa, sesuai porsinya.