Mahkamah Syar’iyah identik dengan peradilan dalam Islam ditinjau dari fungsi dan kewenangannya, bukan dari hak dan kedudukannya, karena peradilan Islam tidak mengenal pengadilan tertinggi pada Mahkamah Agung (MA) tetapi pada peradilan Islam itu sendiri.
Latar belakang lahirnya Mahkamah Syar’iyah adalah adanya basis sosial hukum yang harus hidup di tengah masyarakat Aceh yang pada era reformasi menjadi pintu gerbang kekuatan cita-cita dan semangat yang masih utuh untuk memberlakukan kembali khazanah Aceh yang sudah mengakar dan khas tersebut. Kedudukan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah serta hal-hal yang terkait dengannya, didasarkan pada beberapa ketentuan dasar berikut: (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Aceh; (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; (6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama; (7) Qanun-Qanun Provinsi Aceh yang terkait.