Hai, Sobat Pustaka! Indonesia terkenal dengan kekayaan bahasa daerah yang luar biasa—lebih dari 700 bahasa tersebar dari Sabang hingga Merauke. Namun, di tengah dominasi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bagaimana peran bahasa daerah dalam sastra modern? Apakah penggunaan bahasa lokal justru memperkaya karya sastra atau menjadi penghalang bagi pembaca yang lebih luas? Artikel ini akan membahas dilema pelestarian budaya melalui bahasa daerah dalam sastra modern, tantangan bagi penulis, serta upaya untuk menjaga warisan linguistik ini tetap hidup. Yuk, simak!
Bahasa Daerah: Identitas Budaya dalam Karya Sastra
Bahasa daerah bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga penanda identitas budaya. Dalam sastra, penggunaan bahasa lokal bisa menghadirkan nuansa autentik yang memperkaya cerita. Misalnya, novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari menyelipkan kosakata Jawa untuk menggambarkan kehidupan masyarakat pedesaan di Jawa Tengah.
Contoh Kutipan dari Ronggeng Dukuh Paruk:
“Kalian harus ngibing dengan gandrung (semangat), bukan seperti blantik (ayam tak bergairah)!”
Kata “gandrung” dan “blantik” berasal dari bahasa Jawa, tetapi konteks kalimat membuat pembaca lebih mudah memahami maknanya. Tohari tidak menerjemahkan langsung, tetapi membiarkan pembaca menangkap makna melalui situasi cerita.
Tantangan Penggunaan Bahasa Daerah dalam Sastra Modern
Meski memiliki nilai budaya yang tinggi, penggunaan bahasa daerah dalam sastra modern tergolong riskan. Berikut adalah beberapa tantangan terbesarnya:
Keterbatasan Pemahaman Pembaca
Tidak semua pembaca menguasai bahasa lokal, terutama generasi muda yang lebih terbiasa dengan bahasa Indonesia atau bahasa asing. Hal ini berpotensi mengurangi daya tarik karya sastra yang kental dengan bahasa lokal.
Dilema Penerbit
Penerbit sering kali ragu menerbitkan buku yang menggunakan bahasa lokal karena pertimbangan pasar. Mereka khawatir penggunaan bahasa lokal akan membatasi penjualan buku tersebut secara nasional atau internasional.
Tekanan Globalisasi
Arus globalisasi dan digitalisasi membuat bahasa asing seperti Inggris semakin dominan. Bahasa lokal pun rentan tergerus jika kita tidak mengadaptasinya secara kreatif dalam karya sastra. Tren genre dan kepenulisan juga menjadi tantangan tersendiri.
Baca juga:
- Promo April MOB Penerbit BSM, Diskon Spesial 11% Plus 7%
- Perbedaan Diksi Fiksi dan Nonfiksi
- 17 Kata Baku yang Masih Salah Tulis (Edisi Ramadan)
Upaya Pelestarian: Kolaborasi Penulis, Penerbit, dan Komunitas
Untuk menjembatani dilema ini, berbagai pihak mulai dari penulis, penerbit, hingga komunitas budaya melakukan inisiatif kreatif:
Strategi penulis: menyisipkan bahasa daerah dengan konteks yang jelas
Penulis kreatif menggunakan bahasa lokal secara strategis, lengkap dengan penjelasan kontekstual agar pembaca tetap memahami maknanya.
Contoh dari Laut Bercerita (Leila S. Chudori):
“Di sini, kami menyebutnya makan angin—pergi tanpa tujuan, hanya untuk melepas rindu pada kebebasan.”
Penjelasan frasa “makan angin” (Melayu: jalan-jalan) hadir dalam narasi sehingga pembaca non-Melayu tetap paham.
Penerbit berani: buku dwibahasa untuk menjangkau pasar lebih luas
Beberapa penerbit mulai menerbitkan karya dwibahasa (daerah + Indonesia) untuk mempertahankan bahasa lokal tanpa mengorbankan daya tarik komersial. Pendekatan ini memungkinkan pembaca dari berbagai latar belakang memahami cerita sambil tetap menikmati keunikan bahasa lokal masyarakat.
Contoh konsep buku dwibahasa:
“Apabila bakau (pohon mangrove) mati, kampung kami akan tenggelam…”
Penulisan terjemahan kata-kata kunci bahasa daerah dalam kurung memudahkan pembaca sekaligus memperkenalkan kosakata lokal.
Dengan strategi ini, penerbit dapat menjangkau pembaca yang lebih luas sambil tetap melestarikan kekayaan bahasa lokal.
Mengapa Ini Penting?
Pelestarian bahasa daerah dalam sastra penting karena beberapa alasan:
Menjaga Identitas Budaya
Bahasa daerah adalah bagian dari identitas budaya suatu masyarakat. Setiap bahasa membawa nilai-nilai, tradisi, dan kearifan lokal yang unik. Jika bahasa lokal punah, kita kehilangan cara pandang dan pengetahuan yang merupakan warisan turun-temurun. Misalnya, dalam bahasa Jawa, ada istilah “sugih tanpa banda” (kaya tanpa harta) yang menggambarkan filosofi hidup sederhana. Jika bahasa ini hilang, nilai-nilai seperti ini bisa ikut terlupakan.
Memperkaya Karya Sastra
Bahasa daerah memberikan nuansa dan warna yang unik dalam karya sastra. Penggunaan bahasa lokal bisa membuat cerita terasa lebih autentik dan hidup. Misalnya, dalam novel Laskar Pelangi, Andrea Hirata menggunakan istilah-istilah Melayu seperti “pulau” (kampung) untuk menggambarkan kehidupan masyarakat Belitung. Tanpa bahasa lokal tersebut, cerita ini mungkin kehilangan “rasa” lokalnya.
Mencegah Kepunahan Bahasa
Menurut UNESCO Atlas of the World’s Languages in Danger, lebih dari 40% bahasa di dunia terancam punah, dan Indonesia termasuk salah satu negara dengan jumlah bahasa daerah yang rentan. Indonesia punya sekitar 140 bahasa daerah yang masuk dalam kategori rentan, terancam punah, atau kritis. Misalnya, bahasa Ternate dan Tidore di Maluku Utara yang penuturnya semakin berkurang. Jika media modern seperti sastra tidak ikut melestarikan bahasa lokal, bahasa-bahasa ini bisa hilang selamanya.
Membangun Koneksi Emosional
Bagi pembaca yang berasal dari daerah tertentu, membaca karya sastra yang menggunakan bahasa daerah bisa menciptakan koneksi emosional yang kuat. Ini membuat mereka merasa lebih dekat dengan cerita dan karakter. Misalnya, pembaca dari Jawa mungkin merasa lebih terhubung dengan novel yang menggunakan bahasa Jawa karena mengingatkan mereka pada budaya dan lingkungan asalnya.
Jadi, Sobat Pustaka itu dia dilema pelestarian bahasa daerah di Indonesia!
Bahasa daerah dan bahasa nasional bisa berjalan beriringan dalam sastra modern. Tantangannya adalah menemukan cara kreatif untuk memadukan keduanya tanpa kehilangan makna atau keunikan. Dengan dukungan penulis, penerbit, dan pembaca, bahasa daerah bisa tetap hidup dan menjadi bagian dari cerita-cerita kita. Yuk, dukung pelestarian bahasa daerah dengan membaca dan menulis karya sastra yang memadukan bahasa lokal dan nasional!