Di dunia ini terdapat kitab yang begitu monumentalnya dan juga “keramat”. Ia diberi nama “Iḥyā ‘Ulūm al-Dīn” (menghidupkan [kembali] ilmu-ilmu agama). Mungkin benar jika dikatakan “kehebatan sebilah senjata pusaka tergantung seberapa hebat spiritualitas dari “empu” tersebut”. Demikian pula dengan Iḥyā’, Kitab ini mencerminkan kehebatan “spiritualitas” dari penulisnya, yakni Hujjatul Islam Muhammad bin Muhammad al-Ghazālī at-Tūsī Asy-Syāfi’ī atau akrab disapa al-Ghazālī.
Kitab ini mempunyai keunikan dan ke khasan daripada kitab sebelum maupun sesudahnya. Salah satu keunikannya dalam kitab ini adalah al-Ghazālī mampu meramu dua disiplin keilmuan yang berbeda—jika tidak dikatakan saling bertolak belakang—dalam tradisi Islam. Menjadi satu kesatuan yang padu. Padahal fiqih berada pada dimensi eksoterik dan tasawuf berdimensi esoterik. Pendekatan keduanya pun berbeda jika fiqih banyak menggunakan pendekatan kebahasaan, sementara tasawuf bayak menggunakan pendekatan Psiko-Gnesis, Intuitif; Dzauq (Qalb).
Berangkat dari situlah muncul beberapa kegelisahan akademik mengenai beberapa hal, di antaranya adalah apa yang melatar belakangi munculnya pemikiran fiqih al-Ghazālī yang bercorak batin? Apakah metodologi yang digunakan al-Ghazālī dalam merumuskan fiqih yang bercorak batin? Seperti apakah pemikiran fiqih yang bercorak batin tersebut? Selaras dengan permasalahan yang dikemukakan maka tujuan penulisan ini tak bukan adalah untuk memahami dan menemukan ruang batin fiqih al-Ghazālī dalam kitab Iḥyā ‘Ulūm al-Dīn yang mempunyai dua dimensi yakni dimensi lahir dan batin.
