Lompat ke konten

Bintang Pustaka I Penerbit Buku Pendidikan I Anggota IKAPI

Mengulik Sejarah Penerbitan Buku di Indonesia

Mengulik Sejarah Penerbitan Buku di Indonesia

Mengulik Sejarah Penerbitan Buku di Indonesia

 

Penerbit buku di Indonesia tidak muncul begitu saja keberadaannya. Banyak cerita pasang surut yang melekat dari perjalanan sejarah penerbitan. Terlebih penerbit buku menjadi penentu terhadap kualitas sumber daya manusia Indonesia. Untuk itu, mari kita bahas sejarah penerbit buku di Indonesia.

 

  1. Masa Sebelum penjajahan

Penerbit tidak lepas dari budaya tulis menulis di Nusantara yang telah ada sejak abad 14 Masehi. Pada saat itu dunia perbukuan masih sederhana yang berupa naskah-naskah yang kemudian menjadi buku bahkan hanya sekumpulan gulungan daun lontar yang ditulis tangan. Dalam media tersebut mereka menuliskan teks kerajaan, karya sastra, babad sejarah hingga ayat-ayat suci. Pada abad ini sudah ada beberapa buku karya Mpu Tantular yang terkenal yaitu kitab Sutasoma dan kitab Nagarakertagama karya Mpu Prapanca. Kemudian muncul buku-buku ajaran agama Islam pada abad 16 yang tersebar di Nusantara, khususnya di Jawa dan Sumatera.

 

  1. Masa Penjajahan Belanda

Pada abad ke 17 Masehi, VOC mendatangkan mesin cetak yang ketika itu sedang menjajah Indonesia. Kedatangan mesin cetak tersebut merupakan awal masa penerbitan yang sebenarnya dimulai. Mesin cetak itu digunakan VOC untuk membuat pamflet, brosur, koran, dan majalah. Salah satu surat kabar yang diterbitkan VOC pada tahun 1744 yaitu Bataviaasche Nouvelles.

Pada akhir abad 19 Masehi di Jawa, mulai muncul penerbit dan percetakan milik orang Tionghoa peranakan dan Indo-Eropa. Mereka menerbitkan sekitar 3000 buku, pamflet, dan lainnya. Hasil terbitan itu berupa buku dalam bahasa Melayu Tionghoa dan terjemahan karya-karya dari Eropa ke dalam bahasa Melayu.

Keprihatinan pemerintah kolonial terhadap rendahnya mutu penerbitan buku terjemahan, pada tahun 1908 dibentuklah Commisie Voor de Inlandsche Chool en Volksectuur. Pada tahun 1917, komisi ini berganti nama menjadi Balai Poestaka yang menghasilkan banyak karya sastra. Pembentukan komisi tersebut menjadi cikal bakal penerbitan buku massal di tanah Hindia Belanda. Salah satu penerbitan yang memberi pengaruh besar pada pada perkembangan sastra adalah Boekhandel Tan Khoen Swie.

 

  1. Masa Penjajahan Jepang

Pada masa penjajahan Jepang penerbit masih berjalan, namun seluruh surat kabar yang berbahasan cina, belanda, hingga Indonesia diberhentikan. Saat itu Jepang menggunakan penerbitan dan seluruh media sebagai alat propaganda militer Jepang. Oleh sebab itu, segala karya yang diterbitkan harus berkaitan dengan kepentingan tersebut.

Penerbit Balai Poestaka saat kependudukan Jepang hanya menerbitkan dua roman yaitu, Tjinta Tanah Air karya Nur Sutan Iskandar dan Palawidja karya Karim Halim. Kemudian Balai Poestaka berganti nama menjadi Gunseikanbu Kokumin Tosyokyoku, yang berarti Biro Pustaka Rakyat Pemerintah Militer Jepang.

 

  1. Era Kemerdekaan 1945 – 1950

Setelah kemerdekaan, penerbit mulai berjalan lagi. Tahun 1950 penerbitan Balai Pustaka mendominasi dengan menerbitkan dan mencetak ulang 128 judul buku dengan tiras 603.000 ekslempar. Banyak penerbit swasta nasional mulai bermunculan di pulau Jawa dan Sumatera.  Pemerintah membantu mendorong perkembangan penerbitan buku nasional dengan memberikan subsidi dan bahan baku kerta sehingga buku yang dihasilkan dapat dijual murah.

  1. Era orde lama 1950 – 1965

Pemerintah orde lama membentuk Yayasan Lektur yang memiliki fungsi untuk mengatur bantuan pemerintah kepada penerbit dan mengendalikan harga buku. Berkembang pesatnya penerbit di Indonesia mendorong terbentuknya  Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) pada 17 Mei 1950 dengan jumlah anggota awal 13 dan menjadi 600-an anggota di tahun 1965.

 

  1. Era Orde Baru 1965 – 1998

Pada akhir tahun 1965, pemerintah mencabut subsidi kepada penerbit. Industri penerbitan mendapat imbas akibat ketidakstabilan politik di Indonesia pada masa itu. Penerbit pun mengalami kemunduran karena hanya sedikit yang bertahan. Hal tersebut disebabkan banyak dari mereka yang hanya bergantung dari dana subsidi pemerintah.

Pada orde baru ini juga terdapat masalah kebebasan berekspresi dan berkarya. Beberapa buku dilarang diterbitkan dan penerbitan harus melalui sensor Kejaksaan Agung. Buku-buku yang dilarang yang berkaitan dengan peristiwa G30SPKI karena dianggap menyesatkan yang bercerita tentang pergantian kekuasaan pemerintah.

  1. Era Reformasi 1999 – Sekarang

Memasuki tahun 1999  masyarakat mendapatkan kembali kebebasan di berbagai bidang seperti sosial,ekonomi, politik, bahkan pers. Sejak adanya pencabutan aturan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers, banyak orang yang bebas berekspresi melalui media cetak. Kemunculan penerbit-penerbit baru membawa antusiasme industri penerbit. Semakin banyak buku dengan genre yang bervariasi, seperti biografi, buku fiksi ataupun buku motivasi.

 

Mengulik Sejarah Penerbitan Buku di Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *